MAKALAH
“Jurnalisme Islami”
Diajukan untuk memenuhi tugasmata kuliah “Dasar Jurnalistik”
Diajukan untuk memenuhi tugasmata kuliah “Dasar Jurnalistik”
Dosen
Pembimbing :
Drs.
A.M Moefad, SH., M.Si.
Nama
Kelompok :
1. Inenda
Felayani Safitri (B76212112)
2. Ovita
Aprinia Bahri ()
3. Masmuh
Haromen Mas’an ()
4. Muhammad
Ardiansyah ()
PRODI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Salah satu masalah besar Isalam pada era informasi
sekarang ini adalah tidak dimilikinya suatu media massa yang memadai bagi
mereka untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai islam, atau membela
kepentingan agama dan umat islam. Akibatnya yang terjadi tidak hanya kurang
tersalurkannya aspirasi umt islam, tetapi juga umat islam hanya menjadi
konsumen dan rebutan media massa lain yang tidak jarang membawa informasi yang
menyesatkan bagi mereka. Tampaknya sudah menjadi sunnatullah agama dan umat
islam selalu mendapatkan berbagai serangan atau tantangan, dari mereka yang
tidak menyukai islam, khusunya barat (kaum kuffarSalibis-Zionis) dan tidak
dapat dipungkiri. Dewasa ini barat menguasai era informasi dengan segala
keunggulan system, teknik dan media informasi yang tersebar luas dengan
menjangkau seluruh dunia.
Pers
barat senantisa berusaha memanipulasi atau merekayasa pemberitaan tentang agama
dan umat islam, dengan tujuan memojokkan posisi islam di arena internasional.
Lebih dari itu media massa barat dan agen-agennya gencar mensosialisasikan
nilai-nilai pemikiran dan budaya mereka
ke dunia islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat islam cenderung
lebih berkiblat ke barat dari pada taat pada aturan islam. Tidak heran, jika
isme-isme seperti materialisme, sekularisme, serta nasionalisme mewabah di
kalangan masyarakat islam, diiringi terjadinya pemujaan terhadap segala hal
yang berbau atau datang dari barat, berkat kekuatan promosi dan setting media
informasi mereka
Memang
pada erainformsi ini umat islam tengah di landa invasi pemikiran dan budaya
barat. Dunia islam tampak tidak berdaya lagi menghadapi pers barat yang bermisi
menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya dan membut opini umum, kesan yang
buruk tentang jaran islam.
B. Rumusan Maslah
1.
Bagaimana model
jurnalisme islami ?
2.
Apa pengetian jurnalisme
itu sendiri ?
3.
Perbedaan jurnalisme
islami dengan jurnalisme umum ?
C. Tujuan
Ø
Untuk mengetahui
lebih dalam tentang Jurnalisme Islami
Ø
Model Jurnalisme
Islami
Ø
Mengetahui
perkembangan Jurnalisme Islami
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pengertian jurnalisme
sendiri adalah bidang yang penuh kedisiplinan dalam mengumpulkan , memastikan
melaporkan dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian
sekarang termasuk tren , masalah dan tokoh papan atas
(artis) . Sedangkan Pengertian jurnalisme Islami adalah jurnalisme yang meneladani empat akhlaq mulia Rasulullah , Nabi Muhammad SAW. Ke-empatnya meliputi Shiddiq (mendasarkan pada kebenaran), Tabligh (Mendidik), Amanah (dapatbdi percaya), Fathanah (arif). Sedangkan jika menurut kaca mata umum Jurnalisme adalah kegiatan untuk menyampaikan pesan , gagasan, ide dan Informasi dalam bentuk tulisan , gambar dan suara yang meliputi proses pencarian, pengumpulan , pengelolaan serta penyebaran kepada orang banyak maupun publik .
(artis) . Sedangkan Pengertian jurnalisme Islami adalah jurnalisme yang meneladani empat akhlaq mulia Rasulullah , Nabi Muhammad SAW. Ke-empatnya meliputi Shiddiq (mendasarkan pada kebenaran), Tabligh (Mendidik), Amanah (dapatbdi percaya), Fathanah (arif). Sedangkan jika menurut kaca mata umum Jurnalisme adalah kegiatan untuk menyampaikan pesan , gagasan, ide dan Informasi dalam bentuk tulisan , gambar dan suara yang meliputi proses pencarian, pengumpulan , pengelolaan serta penyebaran kepada orang banyak maupun publik .
Menurut Andreas
Harsono penulis buku yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme” ini
pengertian Jurnalisme Islami adalah suatu proses yang meliput , mengelola dan
menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan sosial nilai-nilai Islam
dengan mengedepankan dakwah Islamiyah , serta berbagai pandangan dengan
prespektif ajaran Islam di khalayaknya.
B. Wajah Pers Islam
Pers islam di
Indonesia menengok penerbitan yang mengatasnamakan Islam itu, kita jadi
prihatin dibuatnya. Ketidakberimbangan dalam menurunkan berita dan sikap
emosional yang mengundang amarah dan tak jarang mewarnainya. Kalau tidak
begitu, isinya yaa menggurui. Kecenderungan bahwa Islam yang dianutnya adalah
yang “Terbenar” begitu juga yang telah berstempel paten media massa yang
dikelola oleh ormas Islam. Pengelola Pers Islam terkadang tidak bisa membedakan
antara hasil liputan dengan artikel maupun essai. Juga tidak jarang pula
pemasangan gambar tanpa mencantumkan perawinya. Ini masalah elementer yang
merupakan praSyarat dasar dari Ilmu Jurnalistik.
Ada 2 kelemahan
media massa islam selama ini, yakni : ketidakmampuan dibidang keredaksian dan
dana. Dua hal ini saling berkaitan. Contohnya : bila tidak bisa menggaji
wartawan secara baik, tentu akan mendapatkan sumber daya yang miskin pemahaman
kejurnalistikannya. Atau hanya mereka yang miskin pemahaman jurnalistiknya saja
yang nilai jualnya rendah dan mau dibayar murah . bagi mereka yang penting
adalah idealisme ditanam dalam-dalam. Bukankah idealisme mampu memacu etos
kerja? Tapi bila hanya idealisme saja bekalnya , sementara media massa umum
sudah jauh melaju, lalu mau kemana pers Islam ?
Umat Islam sudah
saatnya bangkit mengisi era globalisasi informasi ini. Informasi Islam adalah
informasi yang membuat penghuni jagad mendapat rahmat bukan laknat, karena
konsep islam adalah Universal. Maka konsep rahat mesti kita raih secepatnya.
Semestinya pula media massa Islam bisa maju di garis depan, memandu umat. Ia
seharusnya menjadi refrensi utama di tengah derasny arus pergumulan ide dari
berbagai idiologi dunia. Contohnya : ada kisah yang menyedihkan , tatkala kita
memberitakan perang teluk, sumber utama informasi kita dipasok oleh kantor
berita barat. Akibatnya berita itu cenderung membias dan tidak seimbang. Jangan
heran bila akhirnya tokoh Saddam Hussein selalu tersudutkan. Tapi itu bukan
berarti kita mengimbangi dengan menokohkan Saddam secara berlebihan. Rakyat
Yordania mislanya membalas pemberitaan barat itu dengan sangat
menyanjung-nyanjung Saddam. Beliau menurut rakyat dan media massa Yordania
adalah tokoh super yang bisa mengalahkan kekuatan-kekuatan lawan. Pemberitaan
pembalasan seperti ini bila dilihat dari kaca mata politis mungkin
menguntungkan pihak dari Saddam dan rekannya.Tapi bila dilihat dari sisi kaca
mata Islam , apakah sudah benar ? itulah wajah kita Pers Islam selama ini ,
Pers Islam yang penuh emosi marah dan rasa benci. Semestinya Pers Islam harus
punya asosiasi informasi islam dunia, seperti kantor berita Islam dunia seperti
yang pernah diselenggarakan Muktamar Media Massa Islam ke-1 pada tahun 1980 silam.
Persoalan pokok
media massa Islam tentu terpulang pada masing-masing pengelolannya. Mampukah
kita memacu kreativitas dan profesionalisme dalam rangka berpacu dengan
informasi yang serba simpang siur. Bila tak mampu menandingi mereka, rasanya
kebangkitan Islam di abad ke -15 ini tinggalah angan-angan belaka, kita memang
sudah tertinggal jauh, tapi janganlah kita bangkit dengan ketidakmampuan. Kita
harus meletakkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin.
C. Formulasi Pers
Islam
Secara garis besar
, Pers Islam terpecah menjadi dua pandangan. Pandangan pertama adalah pers yang
menyatakan dirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut formal islam. Dan yang
kedua, berpandangan bahwa yang
terpenting adalah berkembangnya nilai-nilai islam. Bukan berkibarnya bendera.
Pandangan kedua ini memandang bahwa islam aalah universal, artinya nilai-nilai
islam pasti membawa kebaikan bila dilaksanakan dalam kehidupan. Oleh siapapun
“walaupun mereka non muslim”.
Persoalan kini
adalah bagaimana kita bisa menggabungkan kedua titik ekstrim tersebut diatas.
Yakni pers yang berani menyatakan dirinya islam, sekaligus menegakkan
nilai-nilai islam secara univeral dalam peliputan.penulisan, maupun sistem
manajemennya. Pers islam terdiri dari unsur produksi (redaksional,photograpy,
setting dan cetak) pemasaran dan manajemen.
Bila kita berpijak
pada islam sebagai ad-Dien yang membuahkan rahmat bagi alam semesta, makasemua
informasi (masuk dalam unsur produksi) yang disebarkannya adalah dalam rangka
amal ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itulah, maka sikap keterbukaan yang jujur
adalah salah satu cirinya dan untuk menjadi penyebar informasi dibutuhkan
beberapa prasyaratan. Bila konsep tersebut dipegang, maka penulis berita
sefihak takkan terjadi dan takkan pernah ada. Penyuapan pada wartawan bisa
ditepis. Untuk menuju ke arah ini memang membutuhkan dana, waktu dan tenaga
yang lebih. Tapi itulah cara islami yang mungkin orang lain mengatakannya
dengan cara yang Manusiawi. Solusi untuk memasarkannya , bisa laku keras
apabila produknya bagus untuk konsumsi umat Islam. Mestinya, media laku karena
mutunya. Bukan orang yang membeli karena kasihan.
Berdagang main kayu
jangan sampai di terapkan dalam Umat Islam, Berdaganglah secara Islam (tidak
menipu atau curang) perlu di terapkan secara konsekuen. Kalau toh ada
persaingan, maka semuanya bermuara pada Fastabiqul Khairat. Manajemen yang
diterapkannya pun hendaknya sesuai dengan prinsip Islami. Contohnya: memberikan
gaji pegawai tepat waktu, tidak boleh di tunda-tunda. Gaji bawahan dan atasan
jangan sampai terpaut dengan sangat mencolok (berbeda). Kepangkatan hendaknya
memperhatikan asas prestasi. Tak selalu karena senioritas saja. Bagi yang
berprestasi diberikan hadiah ataupun bonus, bagi yang tak berprestasi atau
malah merugikan perusahaan hendaklah diberikan teguran atau sanksi yang adil.
Bila semua ini di terapkan , takkan terjadi ketimpangan. Kenyataan di lapangan
memang masih memprihatinkan, ada pimpinan media cetak yang pergi keluar kota
dengan naik pesawat, sementara karyawannya ketika reporting selalu kesulitan
dana, gaji terlambat atau honor penyumbangan artikel tak kunjung datang bila
tidak di tagih terlebih dahulu.
Dari butir-butir
kajian di atas tentang pers Islam , bisa disimpulkan pengertian Pers Islam
adalah :
Pertama, adalah sebuah media elektronik
maupun cetak yang di kelola oleh seseorang atau atas nama umat Islam baik
secara perorangan maupun lembaga
Kedua, adalah membawa misi amar
ma’ruf nahi munkar
Ketiga, adalah tujuan jangka panjangnya
berupa rahmat bagi alam semesta
Keempat, adalah dikelola dengan
semangat profesionalisme yang tinggi
Kelima, adalah para sahafinya
(wartawan) memenuhi tiga syarat layaknya seorang rawi.
Keenam, manajemen yang diterapkan
adalah manajeman islami, para pengelolaannya medapat imbalan yang layak dan
sesuai dengan keahliannya.
D. Jurnalisme yang Islamis
Ghibah adalah
memberitakan kejelekan orang lain. Padahal memberitakan baik dan buruknya
seseorang adalah bagian dari pekerjaan seorang wartawan. Tak heran bila di
kalangan sebagaian masyarakat muslim, wartawan di samakan dengan penyebar isu.
Karena itu, perlu di hindari. Perlu disadari bahwa untuk memacu pembangunan
dibutuhkan informasi dan percepatan arus informasi itu akan sangat bergantung
pada kerja para wartawan. Lewat radio, televisi, koran dan majalah. Tapi
perjalanan dan hasil pembangunan itu sendiri perlu disikapi secara kritis,
artinya baik dan buruk perlu diberitakan juga. Tujuannya bila baik agar bisa di
tauladani dan bila jelek agar bisa di ambil hikmahnya saja. Setidaknya takkan
terulang lagi di masa yang akan datang.
Untuk menilai baik
dan buruknya sebuah informasi yang disebarkan, terpulang pada niat awal.
Bukankah segala amalan anak adam itu tergantung pada niatnya? Faktor niat amat
paling penting dan ia patut ditempatkan di urutan pertama. Bagi para wartawan
muslim atau wartawati muslimah , sebaiknya menginformasikan berita dengan
niatan yang konstruksi dan edukatif. Hindarilah syak wasangka yang mengandung
nilai subyektifitas tinggi serta memperhitungkan segala dampak yang bakal
terjadi bila tulisan itu di turunkan. Mislanya: tebtabg keretakan intern di
tubuh organisasi umat islam. Bila masalahnya bisa diselesaikan secara intern,
hendaknya tidak perlu disebarluaskan atau malah ditulis memperbesar
pertentangan pihak-pihak yang sedang bertikai. Dan biasanya berita tersebut
atau berita hangat tersebut di tulis dalam bentuk laporan utama di cover koran,
patutkah seperti itu di sebut jurnalisme islamis ?
bila penulisan
tersebut disertai dengan solusi, tidaklah menjadi masalah. Bahkan bisa menjadi
rujukan setidaknya sebagai penambah wawasan. Tapi, bila menulisnya hanya
sekedar memaparkan pertikaian antar individu di dalam tubuh ormas/orsospol
Islam, sepertinya tidak ada manfaatnya lebih terkecuali hanya mendatangkan
fitnah belaka. Bahkan malah dijadikan sarana untuk mempertajam pertikaian yang
mestinya tak perlu itu. Bukankah sesama mukmin adalah bersaudara? Patutkah
sesama saudara bertengkar dan diberitakan secara besar-besaran di media massa.
Bila logika ini di gunakan, sepertinyamereka yang bertikai dan menyukai bila
pertikaiannya tersebut di publikasikan , kemukminannya masih diragukan betul.
Mungkin mereka Islam secar formal, tapi belum mencapai kualitas mukmin, dan
mereka semuanya patut kita sadarkan.
Sebagai wartawan
muslim, tanggung jawab moral yang diambilnya sangatlah besar. Setiap langkah,
setiap tulisan yang akan diluncurkan hendaknya mempunyai misi amar ma’ruf nahi
munkar, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Inilah yang membedakan antara
wartawan sekuler yang menganut asas bebas nilai dengan wartawan muslim yang
berasas tidak bebas nilai. Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan adalah
nilai-nilai islami yang bermuara pada keselamatan, keamanan dan kesejahteraan
alam serta seisinya.
Jurnalisme Islamis
juga harus mempunyai mental yang kuat dilapangan baik fisik maupun daya tembus
sumber. Kehandalan di lapangan berkit dengan tubuh yang prima, agar kelak
wartawan bisa bergerak cepat dan tangkas. Sedangkan bila soal mental ,
hendaknya wartawan independent, Artinya wartawan harus menguasai suatu
persoalan, berani mempertanggung jawabkan. Semestinya wartawan berjiwa merdeka,
anti amplop, anti rayuan gombal, dan sejenisnya. Agar berita yang di tuliskan
dan yang akan di tuangkan ke muka public , benar-benar bersih.
Di dalam bukunya Bapak Herry
Mohammad yng berjudul Jurnalisme Islami
menjelaskan bahwa idealisme tidak bisa di beli.dalam kondisi apapun ,
orang tak mungkin menjual idealisme itu , yang artinya dengan penerbitan yang
sempoyongan, gaji kecil bahkan tidak jelas, wartawan bisa bekerja dengan hati
nuraninya, dengan baik, maupun penuh tanggung jawab. Adapun pers industri ini
dikelola oleh orang tinggi , di back up dengan modal yang cukup (masuknya
konglomerat dalam industri pers) dan wartawannya pun di gaji dengan laik. Pers
adalah alat yang secara politis bisa memperkuat basis bisnisnya. Karena itu,
pers industri sudah tidak bisa lagi memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sebab ia
menjual informasi yang dibutuhkan banyak orang yang membaca (bagi yang mampu
membelinya).
Hanya kemandirian salah satu kunci
dari suatu penerbitan pers. Bila kemandirian sudah mulai pupus , maka idealisme
tidak akan muncul di permukaan. Di zaman sekarang , hukum saja bisa di beli
apalagi kemandirian dalam pers , bisa saja terbeli dengan mudah. Karena itu,
bila wartawan di gaji kecil, tak memenuhi karena kebutuhan pokok dan ongkos
produksi ditekankan sedemikian rupa,bisa jadi kemandirian wartawan menjelma
jadi kemandulan. Yang artinya wartawan menulis sesuai dengan pesanan meupun
pesan sponsor.
Untuk bisa mandiri , dibutuhkan
ketahanan. Ketahanan itu sendiri sangat beragam. Ada yang memang ia di back up
oleh konglomerat tanpa ikut campur redaksi. Ada pula karena sudah mapan terjual
dan banyak ikannya. Atau karena dua-duanya telah diterapkan. Tapi yang paling
penting adalah dapur redaksi sepenuhnya diserahkan pada redaksi. Misi
penerbitan harus jelas, informasi yang di bawakan samapi pada sasaran pembaca.
Bahwa akhirnya laku banyak iklannya, sejauh tak mempengaruhi kerja redaksi
yaasah sah saja. Sebagai wartawan yang profesionalisme hendaknya dalam keadaan
apapu, apapun yang terjadi, semangat tetap ditegakkan. Termasuk semangat dalam
kerja keras menegakkan kebenaran serta mempunyai etika bekerja yang baik.
Dimanapun ia bekerja , baik di media massa kecil maupun besar, bila semangat
ini tertanam baik pers akan tetap mampu menyuarakan kebenaran.
E. Profesionalisme
Wartawan
Kini pers memang
dihadapkan pada iklim yang gerbau bisnis, sebagai konsekuensi di haruskannya
penerbitan surat kabar berbadan hukum yang berupa Perseroan Terbatas (PT).
Karena karyawan pers dapat pembagian saham 20% ,mau tak mau unsur bisnis pasti
masuk. Ini mengandung konsekuensi bahwa kedudukan tertinggu dalam sebuah
penerbitan adalah Direktur Utama. Bila perusahaan penerbitan dipimpin oleh
orang-orang yang tak berlatang belakang kewartawanan, produknya akan mengacu
pada kepentingan bisnis melulu. Lalu unsur idealisme dalam pers yang menjunjung
tinggi nilai-nilai kebenaran akan menyempit dengan sendirinya. Dengan demikian
pers bisa diartikan sebgai komoditi yang diperjual belikan. Ukurannya tidak
lagi informasi yang dihidangkan sampai atau tidak pada sasaran masyarakat pembacanya,
tapi laku atau tidak untuk dijual. Bila
ini sampai terjadi, maka wartawan yang bekerja di perusahaan pers tersebut
adalah seorang tukang pembuat berita sesuai dengan keinginan pasar, mereka
adalah para buruh tunduk pada kepentingan bisnis pada nilai.
Pada hakekatnya
wartawan adalah penyuara kebenaran. Karena itu idealnya ia adalah manusia
bermoral tinggi, dan tahan sogok istilahnya. Profesi panggilan hati
nurani,dengan demikian motivasi bekerja seorang wartawan bukanlah karena
imbalan semata. Dibayar atau tidak kalau itu merupakan panggilan hati nurani ,
ia akan melakukannya. Dalam menjalankan profesinya, wartawan tak mewakili
siapa-siapa, kecuali hati nuraninya. Karena itu baik dengan imbalan besar
ataupun pas-pasan, ia akan tetap berkerja. Panggilan profesionlaisme itulah
yang membedakan antara wartawan tukang, yang menulis sesuai dengan keinginan
sumber berita atau keinginan perusahaan dengan wartawan profesional yang tetap
komitmen atas idealisme.
Semua informasi
yang terpampang di media massa, tak lepas dari latar belakangnya. Daya jangkau
pembaca dan sasaran pemberitannya memang variatif. Idealnya, islam yang
mendominasi warga bui Indonesia ini. Punya media yang berperan aktif
mencerdaskan umat. Patut disadari bahwa sampai detik ini masih belum ada media
yang secara tegas menyatakan ke-Islamannya dan untuk kepentingan semua
golongan. Yang ada malah media yang dikelola golongan dan untuk meyuarakan
golongannya. Informasi adalah awal dari sebuah proses komunikasi. Tak ada
komunikasi tanpa informasi. Bentuknya bisa beragam: oral, tulisan, gerakan dan
lambang. Komunikasi bisa diukur dengan seberapa jauh efek dari informasi yang
disampaikan oleh fihak pertama.
Di era modern ini,
komunikasi oral diperlukan. Sama hal nya dengan komunikasi tertulis dan elektronika.
Bila informasi dijadikan sasaran dakwah, maka perlu diperhatikan sasaran
dakwahnya. Bil lisan maupun bil qalam sama-sama punya kekuatan. Asal sejauh
mana kita bisa memanfaatkannya, yang tepat sasaran, tepat guna dan berdaya.
Dalam menulis
berita wartawan harus jago juga , wartawan tidak bisa lepas dari aktivitas di
lapangan: mereportasekan kejadian dan mewawancarai sumber dan langkah
berikutnya adalah menuangkan dalam bentuk tulisan berita. Menuntut kejelian dan
kepekaan si wartawan, bisa jadi tulisan sedikit dramatisir, meski tidak
didramatisir. Tujuan wartawan mewawancarai biasanya ditemui 2 kendala seperti
ini : birokrasi (berkait dengan sumber) dan deadline (berkait dengan batasan
waktu penulisan). Itulah sebabnya, konfirmasi di dapatkan kalau sumber uatama
tak tembus dari orang-orang yang tahu persoalan. Riset juga diperlukan untuk
memperkaya informasi. Langkah-langkah tersebut perlu kita ambil agar kita tak
terjebak pada berita astul (asal tulis) yang mengakibatkan kerugian berbgai
fihak. Cara astul (asal tulis) sebenarnya sudah keluar dari alur jurnalistik
yang jujur dan bertanggungjawab.
Bila berbicara soal
editing , keprofesionalismenya sebagai waratawan terletak di penampilan
bahasayang indah, enak dibaca, dan bermutu itulah yang menjadi masalah serius
di banyak penerbitan yang mengatasnamakan Islam. Untuk menuju arah terebut
dibutuhkan para editor yang mempunyai kualitas bagus dalam bahasa sebelum
naskah masuk cetak. Editor tanggung jawab agar bahasa yang di pakai bisa
dibaca. Editing yang baik akan membantu sekaligus memperjelas arah sebuah
tulisan. Tapi justru disinilah letak kesulitannya. Terkadang editing membuat
para pembaca bingung , dan menganggap berita tersebut mengandung pengertian
yang kontradiktif, tak seperti yang dimaksud oleh penulisnya. Namun bila
editingnya bagus, maka tulisan tersebut akan bisa dinikmati dengan nyaman,
bahasa mengalir jelas, cerdas dan tak berkelok-kelok.
Menurut Dr. Warren
K Agee , berikut kewajiban seorang editor :
v Memeriksa kesalahan
fakta dan membetulkannya
v Menjaga agar tidak
terjadi kontradiksi pengertian dalam tulisan tersebut
v Memperbaiki tanda
baca, tata bahasa ejaa, figur, nama dan alamat
v Mencegah adanya
pemborosan kata
v Menghindari
kata-kata atau kalimat yang mengarah ke fitnah, bersayap dan berselera
rendahan.
v Memberi atau
memperbaiaki judul dan lead.
Tugas seorang
editor tidaklah ringan. Karena itu,disamping penguasaan tentang bahasa,
wawasannya harus luas. Yang dimaksud luas disini adalah wawasan bukan hanya
pengetahuan umum saja, tapi juga penguasaan tentang cara kerja seorang wartawan
di lapangan. Itulah sebabnya, seorang editor adalah mereka yang pernah menjadi
wartawan. Ini sangat membantu agar mereka memahami suasana saat melakukan
editing. Bagi media-media yang serius, editor sangat dibutuhkan. Dengan adanya
editor di harapkan media yang bersangkutan punya gaya tersendiri. Gaya inilah
yang menjadi ciri khas suatu media. Fanatik tidaknya seseorang terhadap suatu
media, amat ditentukan oleh hasil editing para editornya. Editing yang bagus juga
akan memudahkan orang untuk percaya pada data dan fakta yang disajikan. Bila
gaya penulisan yang khas sudah menajdi trade mark suatu media, ia akan
berfungsi sebagai lem perekat. Pembaca akan sulit untuk meningglakan media
tersebut, inilah salah satu kuncinya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan
jurnalisme islami di atas dapat disimpulkan bahawa jurnalisme islami yang sesungguhnya
adalah seseorang yang meliput berita, mengelola dan menyebarluaskan berbagai
peristiwa dengan muatan sosial nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah
Islamiyah, berbagai pandangan dengan prespektif ajaran Islam di khalayaknya
serta memberikan solusi bila mana berita tersebut membutuhkan nilai-nilai
solusi tersebut, jadi tidak hanya meliput berita saja melainkan menyumbangkan
nilai solusi yang bermuatan islamiah.
B. Saran
Semoga
dengan membaca dan memahami isi makalah ini, kita benar-benar mengetahui dan
memahami pengertian,peranan, problematika maupun sifat dan kewajiban sebagai
wartawan muslim. Melalui kesempatan ini pula penulis makalah mengharapkan
senantiasa menerima kritik atau saran dari segala pihak demi kesempurnaan
maklah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Harsono Andreas,
Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta:Konsius (anggota IKAPI) , 2010.
Ø Mohammad Herry,
Jurnalisme Islami. Surabaya:Pustaka Progresif, 1992.
Ø Dr Wibowo Wahyu,
Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta:Kompas, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar