Kamis, 09 Januari 2014

MAKALAH JURNALISME ISLAMI



MAKALAH
“Jurnalisme Islami”
Diajukan untuk memenuhi tugasmata kuliah “Dasar Jurnalistik”
Dosen Pembimbing :
Drs. A.M Moefad, SH., M.Si.

Nama Kelompok :
1.      Inenda Felayani Safitri (B76212112)
2.      Ovita Aprinia Bahri ()
3.      Masmuh Haromen Mas’an ()
4.      Muhammad Ardiansyah ()
PRODI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang Masalah
Salah satu masalah besar Isalam pada era informasi sekarang ini adalah tidak dimilikinya suatu media massa yang memadai bagi mereka untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai islam, atau membela kepentingan agama dan umat islam. Akibatnya yang terjadi tidak hanya kurang tersalurkannya aspirasi umt islam, tetapi juga umat islam hanya menjadi konsumen dan rebutan media massa lain yang tidak jarang membawa informasi yang menyesatkan bagi mereka. Tampaknya sudah menjadi sunnatullah agama dan umat islam selalu mendapatkan berbagai serangan atau tantangan, dari mereka yang tidak menyukai islam, khusunya barat (kaum kuffarSalibis-Zionis) dan tidak dapat dipungkiri. Dewasa ini barat menguasai era informasi dengan segala keunggulan system, teknik dan media informasi yang tersebar luas dengan menjangkau seluruh dunia.
      Pers barat senantisa berusaha memanipulasi atau merekayasa pemberitaan tentang agama dan umat islam, dengan tujuan memojokkan posisi islam di arena internasional. Lebih dari itu media massa barat dan agen-agennya gencar mensosialisasikan nilai-nilai pemikiran dan budaya mereka  ke dunia islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat islam cenderung lebih berkiblat ke barat dari pada taat pada aturan islam. Tidak heran, jika isme-isme seperti materialisme, sekularisme, serta nasionalisme mewabah di kalangan masyarakat islam, diiringi terjadinya pemujaan terhadap segala hal yang berbau atau datang dari barat, berkat kekuatan promosi dan setting media informasi mereka
      Memang pada erainformsi ini umat islam tengah di landa invasi pemikiran dan budaya barat. Dunia islam tampak tidak berdaya lagi menghadapi pers barat yang bermisi menjauhkan umat islam dari ajaran agamanya dan membut opini umum, kesan yang buruk tentang jaran islam.
      
B.  Rumusan Maslah
1.      Bagaimana model jurnalisme islami ?
2.      Apa pengetian jurnalisme itu sendiri ?
3.      Perbedaan jurnalisme islami dengan jurnalisme umum ?


C.  Tujuan
Ø  Untuk mengetahui lebih dalam tentang Jurnalisme Islami
Ø  Model Jurnalisme Islami
Ø  Mengetahui perkembangan Jurnalisme Islami




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Pengertian jurnalisme sendiri adalah bidang yang penuh kedisiplinan dalam mengumpulkan , memastikan melaporkan dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang termasuk tren , masalah dan tokoh papan atas
(artis) . Sedangkan Pengertian jurnalisme Islami adalah jurnalisme yang meneladani empat akhlaq mulia Rasulullah , Nabi Muhammad SAW. Ke-empatnya meliputi Shiddiq (mendasarkan pada kebenaran), Tabligh (Mendidik), Amanah (dapatbdi percaya), Fathanah (arif). Sedangkan jika menurut kaca mata umum Jurnalisme adalah kegiatan untuk menyampaikan pesan , gagasan, ide dan Informasi dalam bentuk tulisan , gambar dan suara yang meliputi proses pencarian, pengumpulan , pengelolaan serta penyebaran kepada orang banyak maupun publik .
Menurut Andreas Harsono penulis buku yang berjudul “Agama Saya Adalah Jurnalisme” ini pengertian Jurnalisme Islami adalah suatu proses yang meliput , mengelola dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan sosial nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah Islamiyah , serta berbagai pandangan dengan prespektif ajaran Islam di khalayaknya.   
B. Wajah Pers Islam
Pers islam di Indonesia menengok penerbitan yang mengatasnamakan Islam itu, kita jadi prihatin dibuatnya. Ketidakberimbangan dalam menurunkan berita dan sikap emosional yang mengundang amarah dan tak jarang mewarnainya. Kalau tidak begitu, isinya yaa menggurui. Kecenderungan bahwa Islam yang dianutnya adalah yang “Terbenar” begitu juga yang telah berstempel paten media massa yang dikelola oleh ormas Islam. Pengelola Pers Islam terkadang tidak bisa membedakan antara hasil liputan dengan artikel maupun essai. Juga tidak jarang pula pemasangan gambar tanpa mencantumkan perawinya. Ini masalah elementer yang merupakan praSyarat dasar dari Ilmu Jurnalistik.
Ada 2 kelemahan media massa islam selama ini, yakni : ketidakmampuan dibidang keredaksian dan dana. Dua hal ini saling berkaitan. Contohnya : bila tidak bisa menggaji wartawan secara baik, tentu akan mendapatkan sumber daya yang miskin pemahaman kejurnalistikannya. Atau hanya mereka yang miskin pemahaman jurnalistiknya saja yang nilai jualnya rendah dan mau dibayar murah . bagi mereka yang penting adalah idealisme ditanam dalam-dalam. Bukankah idealisme mampu memacu etos kerja? Tapi bila hanya idealisme saja bekalnya , sementara media massa umum sudah jauh melaju, lalu mau kemana pers Islam ?
Umat Islam sudah saatnya bangkit mengisi era globalisasi informasi ini. Informasi Islam adalah informasi yang membuat penghuni jagad mendapat rahmat bukan laknat, karena konsep islam adalah Universal. Maka konsep rahat mesti kita raih secepatnya. Semestinya pula media massa Islam bisa maju di garis depan, memandu umat. Ia seharusnya menjadi refrensi utama di tengah derasny arus pergumulan ide dari berbagai idiologi dunia. Contohnya : ada kisah yang menyedihkan , tatkala kita memberitakan perang teluk, sumber utama informasi kita dipasok oleh kantor berita barat. Akibatnya berita itu cenderung membias dan tidak seimbang. Jangan heran bila akhirnya tokoh Saddam Hussein selalu tersudutkan. Tapi itu bukan berarti kita mengimbangi dengan menokohkan Saddam secara berlebihan. Rakyat Yordania mislanya membalas pemberitaan barat itu dengan sangat menyanjung-nyanjung Saddam. Beliau menurut rakyat dan media massa Yordania adalah tokoh super yang bisa mengalahkan kekuatan-kekuatan lawan. Pemberitaan pembalasan seperti ini bila dilihat dari kaca mata politis mungkin menguntungkan pihak dari Saddam dan rekannya.Tapi bila dilihat dari sisi kaca mata Islam , apakah sudah benar ? itulah wajah kita Pers Islam selama ini , Pers Islam yang penuh emosi marah dan rasa benci. Semestinya Pers Islam harus punya asosiasi informasi islam dunia, seperti kantor berita Islam dunia seperti yang pernah diselenggarakan Muktamar Media Massa Islam ke-1  pada tahun 1980 silam.
Persoalan pokok media massa Islam tentu terpulang pada masing-masing pengelolannya. Mampukah kita memacu kreativitas dan profesionalisme dalam rangka berpacu dengan informasi yang serba simpang siur. Bila tak mampu menandingi mereka, rasanya kebangkitan Islam di abad ke -15 ini tinggalah angan-angan belaka, kita memang sudah tertinggal jauh, tapi janganlah kita bangkit dengan ketidakmampuan. Kita harus meletakkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin.


C. Formulasi Pers Islam
Secara garis besar , Pers Islam terpecah menjadi dua pandangan. Pandangan pertama adalah pers yang menyatakan dirinya Islam dan menggunakan atribut-atribut formal islam. Dan yang kedua, berpandangan  bahwa yang terpenting adalah berkembangnya nilai-nilai islam. Bukan berkibarnya bendera. Pandangan kedua ini memandang bahwa islam aalah universal, artinya nilai-nilai islam pasti membawa kebaikan bila dilaksanakan dalam kehidupan. Oleh siapapun “walaupun mereka non muslim”.
Persoalan kini adalah bagaimana kita bisa menggabungkan kedua titik ekstrim tersebut diatas. Yakni pers yang berani menyatakan dirinya islam, sekaligus menegakkan nilai-nilai islam secara univeral dalam peliputan.penulisan, maupun sistem manajemennya. Pers islam terdiri dari unsur produksi (redaksional,photograpy, setting dan cetak) pemasaran dan manajemen.
Bila kita berpijak pada islam sebagai ad-Dien yang membuahkan rahmat bagi alam semesta, makasemua informasi (masuk dalam unsur produksi) yang disebarkannya adalah dalam rangka amal ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itulah, maka sikap keterbukaan yang jujur adalah salah satu cirinya dan untuk menjadi penyebar informasi dibutuhkan beberapa prasyaratan. Bila konsep tersebut dipegang, maka penulis berita sefihak takkan terjadi dan takkan pernah ada. Penyuapan pada wartawan bisa ditepis. Untuk menuju ke arah ini memang membutuhkan dana, waktu dan tenaga yang lebih. Tapi itulah cara islami yang mungkin orang lain mengatakannya dengan cara yang Manusiawi. Solusi untuk memasarkannya , bisa laku keras apabila produknya bagus untuk konsumsi umat Islam. Mestinya, media laku karena mutunya. Bukan orang yang membeli karena kasihan.
Berdagang main kayu jangan sampai di terapkan dalam Umat Islam, Berdaganglah secara Islam (tidak menipu atau curang) perlu di terapkan secara konsekuen. Kalau toh ada persaingan, maka semuanya bermuara pada Fastabiqul Khairat. Manajemen yang diterapkannya pun hendaknya sesuai dengan prinsip Islami. Contohnya: memberikan gaji pegawai tepat waktu, tidak boleh di tunda-tunda. Gaji bawahan dan atasan jangan sampai terpaut dengan sangat mencolok (berbeda). Kepangkatan hendaknya memperhatikan asas prestasi. Tak selalu karena senioritas saja. Bagi yang berprestasi diberikan hadiah ataupun bonus, bagi yang tak berprestasi atau malah merugikan perusahaan hendaklah diberikan teguran atau sanksi yang adil. Bila semua ini di terapkan , takkan terjadi ketimpangan. Kenyataan di lapangan memang masih memprihatinkan, ada pimpinan media cetak yang pergi keluar kota dengan naik pesawat, sementara karyawannya ketika reporting selalu kesulitan dana, gaji terlambat atau honor penyumbangan artikel tak kunjung datang bila tidak di tagih terlebih dahulu.
Dari butir-butir kajian di atas tentang pers Islam , bisa disimpulkan pengertian Pers Islam adalah :
            Pertama, adalah sebuah media elektronik maupun cetak yang di kelola oleh seseorang atau atas nama umat Islam baik secara perorangan maupun lembaga
            Kedua, adalah membawa misi amar ma’ruf nahi munkar
            Ketiga, adalah tujuan jangka panjangnya berupa rahmat bagi alam semesta
            Keempat, adalah dikelola dengan semangat profesionalisme yang tinggi
            Kelima, adalah para sahafinya (wartawan) memenuhi tiga syarat layaknya seorang rawi.
            Keenam, manajemen yang diterapkan adalah manajeman islami, para pengelolaannya medapat imbalan yang layak dan sesuai dengan keahliannya.
D.  Jurnalisme yang Islamis
Ghibah adalah memberitakan kejelekan orang lain. Padahal memberitakan baik dan buruknya seseorang adalah bagian dari pekerjaan seorang wartawan. Tak heran bila di kalangan sebagaian masyarakat muslim, wartawan di samakan dengan penyebar isu. Karena itu, perlu di hindari. Perlu disadari bahwa untuk memacu pembangunan dibutuhkan informasi dan percepatan arus informasi itu akan sangat bergantung pada kerja para wartawan. Lewat radio, televisi, koran dan majalah. Tapi perjalanan dan hasil pembangunan itu sendiri perlu disikapi secara kritis, artinya baik dan buruk perlu diberitakan juga. Tujuannya bila baik agar bisa di tauladani dan bila jelek agar bisa di ambil hikmahnya saja. Setidaknya takkan terulang lagi di masa yang akan datang.
Untuk menilai baik dan buruknya sebuah informasi yang disebarkan, terpulang pada niat awal. Bukankah segala amalan anak adam itu tergantung pada niatnya? Faktor niat amat paling penting dan ia patut ditempatkan di urutan pertama. Bagi para wartawan muslim atau wartawati muslimah , sebaiknya menginformasikan berita dengan niatan yang konstruksi dan edukatif. Hindarilah syak wasangka yang mengandung nilai subyektifitas tinggi serta memperhitungkan segala dampak yang bakal terjadi bila tulisan itu di turunkan. Mislanya: tebtabg keretakan intern di tubuh organisasi umat islam. Bila masalahnya bisa diselesaikan secara intern, hendaknya tidak perlu disebarluaskan atau malah ditulis memperbesar pertentangan pihak-pihak yang sedang bertikai. Dan biasanya berita tersebut atau berita hangat tersebut di tulis dalam bentuk laporan utama di cover koran, patutkah seperti itu di sebut jurnalisme islamis ?
bila penulisan tersebut disertai dengan solusi, tidaklah menjadi masalah. Bahkan bisa menjadi rujukan setidaknya sebagai penambah wawasan. Tapi, bila menulisnya hanya sekedar memaparkan pertikaian antar individu di dalam tubuh ormas/orsospol Islam, sepertinya tidak ada manfaatnya lebih terkecuali hanya mendatangkan fitnah belaka. Bahkan malah dijadikan sarana untuk mempertajam pertikaian yang mestinya tak perlu itu. Bukankah sesama mukmin adalah bersaudara? Patutkah sesama saudara bertengkar dan diberitakan secara besar-besaran di media massa. Bila logika ini di gunakan, sepertinyamereka yang bertikai dan menyukai bila pertikaiannya tersebut di publikasikan , kemukminannya masih diragukan betul. Mungkin mereka Islam secar formal, tapi belum mencapai kualitas mukmin, dan mereka semuanya patut kita sadarkan.
Sebagai wartawan muslim, tanggung jawab moral yang diambilnya sangatlah besar. Setiap langkah, setiap tulisan yang akan diluncurkan hendaknya mempunyai misi amar ma’ruf nahi munkar, dalam pengertian yang seluas-luasnya. Inilah yang membedakan antara wartawan sekuler yang menganut asas bebas nilai dengan wartawan muslim yang berasas tidak bebas nilai. Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan adalah nilai-nilai islami yang bermuara pada keselamatan, keamanan dan kesejahteraan alam serta seisinya.  
Jurnalisme Islamis juga harus mempunyai mental yang kuat dilapangan baik fisik maupun daya tembus sumber. Kehandalan di lapangan berkit dengan tubuh yang prima, agar kelak wartawan bisa bergerak cepat dan tangkas. Sedangkan bila soal mental , hendaknya wartawan independent, Artinya wartawan harus menguasai suatu persoalan, berani mempertanggung jawabkan. Semestinya wartawan berjiwa merdeka, anti amplop, anti rayuan gombal, dan sejenisnya. Agar berita yang di tuliskan dan yang akan di tuangkan ke muka public , benar-benar bersih.    

            Di dalam bukunya Bapak Herry Mohammad yng berjudul Jurnalisme Islami  menjelaskan bahwa idealisme tidak bisa di beli.dalam kondisi apapun , orang tak mungkin menjual idealisme itu , yang artinya dengan penerbitan yang sempoyongan, gaji kecil bahkan tidak jelas, wartawan bisa bekerja dengan hati nuraninya, dengan baik, maupun penuh tanggung jawab. Adapun pers industri ini dikelola oleh orang tinggi , di back up dengan modal yang cukup (masuknya konglomerat dalam industri pers) dan wartawannya pun di gaji dengan laik. Pers adalah alat yang secara politis bisa memperkuat basis bisnisnya. Karena itu, pers industri sudah tidak bisa lagi memperjuangkan nasib rakyat kecil. Sebab ia menjual informasi yang dibutuhkan banyak orang yang membaca (bagi yang mampu membelinya).
            Hanya kemandirian salah satu kunci dari suatu penerbitan pers. Bila kemandirian sudah mulai pupus , maka idealisme tidak akan muncul di permukaan. Di zaman sekarang , hukum saja bisa di beli apalagi kemandirian dalam pers , bisa saja terbeli dengan mudah. Karena itu, bila wartawan di gaji kecil, tak memenuhi karena kebutuhan pokok dan ongkos produksi ditekankan sedemikian rupa,bisa jadi kemandirian wartawan menjelma jadi kemandulan. Yang artinya wartawan menulis sesuai dengan pesanan meupun pesan sponsor.
            Untuk bisa mandiri , dibutuhkan ketahanan. Ketahanan itu sendiri sangat beragam. Ada yang memang ia di back up oleh konglomerat tanpa ikut campur redaksi. Ada pula karena sudah mapan terjual dan banyak ikannya. Atau karena dua-duanya telah diterapkan. Tapi yang paling penting adalah dapur redaksi sepenuhnya diserahkan pada redaksi. Misi penerbitan harus jelas, informasi yang di bawakan samapi pada sasaran pembaca. Bahwa akhirnya laku banyak iklannya, sejauh tak mempengaruhi kerja redaksi yaasah sah saja. Sebagai wartawan yang profesionalisme hendaknya dalam keadaan apapu, apapun yang terjadi, semangat tetap ditegakkan. Termasuk semangat dalam kerja keras menegakkan kebenaran serta mempunyai etika bekerja yang baik. Dimanapun ia bekerja , baik di media massa kecil maupun besar, bila semangat ini tertanam baik pers akan tetap mampu menyuarakan kebenaran. 
E.  Profesionalisme Wartawan
Kini pers memang dihadapkan pada iklim yang gerbau bisnis, sebagai konsekuensi di haruskannya penerbitan surat kabar berbadan hukum yang berupa Perseroan Terbatas (PT). Karena karyawan pers dapat pembagian saham 20% ,mau tak mau unsur bisnis pasti masuk. Ini mengandung konsekuensi bahwa kedudukan tertinggu dalam sebuah penerbitan adalah Direktur Utama. Bila perusahaan penerbitan dipimpin oleh orang-orang yang tak berlatang belakang kewartawanan, produknya akan mengacu pada kepentingan bisnis melulu. Lalu unsur idealisme dalam pers yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran akan menyempit dengan sendirinya. Dengan demikian pers bisa diartikan sebgai komoditi yang diperjual belikan. Ukurannya tidak lagi informasi yang dihidangkan sampai atau tidak pada sasaran masyarakat pembacanya, tapi laku atau tidak  untuk dijual. Bila ini sampai terjadi, maka wartawan yang bekerja di perusahaan pers tersebut adalah seorang tukang pembuat berita sesuai dengan keinginan pasar, mereka adalah para buruh tunduk pada kepentingan bisnis pada nilai.
Pada hakekatnya wartawan adalah penyuara kebenaran. Karena itu idealnya ia adalah manusia bermoral tinggi, dan tahan sogok istilahnya. Profesi panggilan hati nurani,dengan demikian motivasi bekerja seorang wartawan bukanlah karena imbalan semata. Dibayar atau tidak kalau itu merupakan panggilan hati nurani , ia akan melakukannya. Dalam menjalankan profesinya, wartawan tak mewakili siapa-siapa, kecuali hati nuraninya. Karena itu baik dengan imbalan besar ataupun pas-pasan, ia akan tetap berkerja. Panggilan profesionlaisme itulah yang membedakan antara wartawan tukang, yang menulis sesuai dengan keinginan sumber berita atau keinginan perusahaan dengan wartawan profesional yang tetap komitmen atas idealisme.
Semua informasi yang terpampang di media massa, tak lepas dari latar belakangnya. Daya jangkau pembaca dan sasaran pemberitannya memang variatif. Idealnya, islam yang mendominasi warga bui Indonesia ini. Punya media yang berperan aktif mencerdaskan umat. Patut disadari bahwa sampai detik ini masih belum ada media yang secara tegas menyatakan ke-Islamannya dan untuk kepentingan semua golongan. Yang ada malah media yang dikelola golongan dan untuk meyuarakan golongannya. Informasi adalah awal dari sebuah proses komunikasi. Tak ada komunikasi tanpa informasi. Bentuknya bisa beragam: oral, tulisan, gerakan dan lambang. Komunikasi bisa diukur dengan seberapa jauh efek dari informasi yang disampaikan oleh fihak pertama.
Di era modern ini, komunikasi oral diperlukan. Sama hal nya dengan komunikasi tertulis dan elektronika. Bila informasi dijadikan sasaran dakwah, maka perlu diperhatikan sasaran dakwahnya. Bil lisan maupun bil qalam sama-sama punya kekuatan. Asal sejauh mana kita bisa memanfaatkannya, yang tepat sasaran, tepat guna dan berdaya.
Dalam menulis berita wartawan harus jago juga , wartawan tidak bisa lepas dari aktivitas di lapangan: mereportasekan kejadian dan mewawancarai sumber dan langkah berikutnya adalah menuangkan dalam bentuk tulisan berita. Menuntut kejelian dan kepekaan si wartawan, bisa jadi tulisan sedikit dramatisir, meski tidak didramatisir. Tujuan wartawan mewawancarai biasanya ditemui 2 kendala seperti ini : birokrasi (berkait dengan sumber) dan deadline (berkait dengan batasan waktu penulisan). Itulah sebabnya, konfirmasi di dapatkan kalau sumber uatama tak tembus dari orang-orang yang tahu persoalan. Riset juga diperlukan untuk memperkaya informasi. Langkah-langkah tersebut perlu kita ambil agar kita tak terjebak pada berita astul (asal tulis) yang mengakibatkan kerugian berbgai fihak. Cara astul (asal tulis) sebenarnya sudah keluar dari alur jurnalistik yang jujur dan bertanggungjawab.  
Bila berbicara soal editing , keprofesionalismenya sebagai waratawan terletak di penampilan bahasayang indah, enak dibaca, dan bermutu itulah yang menjadi masalah serius di banyak penerbitan yang mengatasnamakan Islam. Untuk menuju arah terebut dibutuhkan para editor yang mempunyai kualitas bagus dalam bahasa sebelum naskah masuk cetak. Editor tanggung jawab agar bahasa yang di pakai bisa dibaca. Editing yang baik akan membantu sekaligus memperjelas arah sebuah tulisan. Tapi justru disinilah letak kesulitannya. Terkadang editing membuat para pembaca bingung , dan menganggap berita tersebut mengandung pengertian yang kontradiktif, tak seperti yang dimaksud oleh penulisnya. Namun bila editingnya bagus, maka tulisan tersebut akan bisa dinikmati dengan nyaman, bahasa mengalir jelas, cerdas dan tak berkelok-kelok.
Menurut Dr. Warren K Agee , berikut kewajiban seorang editor :
v  Memeriksa kesalahan fakta dan membetulkannya
v  Menjaga agar tidak terjadi kontradiksi pengertian dalam tulisan tersebut
v  Memperbaiki tanda baca, tata bahasa ejaa, figur, nama dan alamat
v  Mencegah adanya pemborosan kata
v  Menghindari kata-kata atau kalimat yang mengarah ke fitnah, bersayap dan berselera rendahan.
v  Memberi atau memperbaiaki judul dan lead.
Tugas seorang editor tidaklah ringan. Karena itu,disamping penguasaan tentang bahasa, wawasannya harus luas. Yang dimaksud luas disini adalah wawasan bukan hanya pengetahuan umum saja, tapi juga penguasaan tentang cara kerja seorang wartawan di lapangan. Itulah sebabnya, seorang editor adalah mereka yang pernah menjadi wartawan. Ini sangat membantu agar mereka memahami suasana saat melakukan editing. Bagi media-media yang serius, editor sangat dibutuhkan. Dengan adanya editor di harapkan media yang bersangkutan punya gaya tersendiri. Gaya inilah yang menjadi ciri khas suatu media. Fanatik tidaknya seseorang terhadap suatu media, amat ditentukan oleh hasil editing para editornya. Editing yang bagus juga akan memudahkan orang untuk percaya pada data dan fakta yang disajikan. Bila gaya penulisan yang khas sudah menajdi trade mark suatu media, ia akan berfungsi sebagai lem perekat. Pembaca akan sulit untuk meningglakan media tersebut, inilah salah satu kuncinya. 

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari pembahasan jurnalisme islami di atas dapat disimpulkan bahawa jurnalisme islami yang sesungguhnya adalah seseorang yang meliput berita, mengelola dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan sosial nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah Islamiyah, berbagai pandangan dengan prespektif ajaran Islam di khalayaknya serta memberikan solusi bila mana berita tersebut membutuhkan nilai-nilai solusi tersebut, jadi tidak hanya meliput berita saja melainkan menyumbangkan nilai solusi yang bermuatan islamiah.   
B.   Saran
Semoga dengan membaca dan memahami isi makalah ini, kita benar-benar mengetahui dan memahami pengertian,peranan, problematika maupun sifat dan kewajiban sebagai wartawan muslim. Melalui kesempatan ini pula penulis makalah mengharapkan senantiasa menerima kritik atau saran dari segala pihak demi kesempurnaan maklah ini.








DAFTAR PUSTAKA
Ø  Harsono Andreas, Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta:Konsius (anggota IKAPI) , 2010.
Ø  Mohammad Herry, Jurnalisme Islami. Surabaya:Pustaka Progresif, 1992.
Ø  Dr Wibowo Wahyu, Menuju Jurnalisme Beretika. Jakarta:Kompas, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar