A.
Pengertian
Komunikasi Lintas Budaya
Komunikasi
lintas budaya adalah (1) suatu studi tentang perbandingan gagasan atau konsep
dalam pelbagai kebudayaan; (2) perbandingan antara satu aspek atau minat
tertentu dalam satu kebudayaan; (3) atau perbandingan anatara satu aspek atau
minat tertentu dengan salah satu atau lebih kebudayaan lain. Komunikasi lintas
budaya lenih menekankan pada ‘perbandingan’ interaksi antarorang dari latar
belakang budaya yang sama, atau perbandingan suatu aspek tertentu dari suatu kebudayaan
dengan orang-orang dari suatu latar belakang budaya lain.[1]
Dan juga menurut Bernad T. Adeney dalam bukunya Etika Sosial Lintas Budaya menyebutkan bahwa salah paham dalam
komunikasi lintas budaya adalah suatu sumber utama terjadinya konflik moral
bagi para pendatang di suatu tanah asing.[2]
Komunikasi
lintas budaya merujuk pada individu-individu yang latar budayanya berbeda.
Individu-individu ini tidak harus selalu berasal dari Negara yang berbeda. Di
Negara yang penduduknya beragam seperti Amerika Serikat, kita dapat mengalami
komunikasi lintas budaya dalam sebuah Negara bagian, sebuah komunitas, dan
bahkan dalam satu blok.[3]
Istilah
komunikasi antarbudaya sering dipertukarkan dengan istilah komunikasi lintas
budaya (cross-cultural communication)
dan terkadang diasosiasikan dengan komunikasi antaretnik (interethnic communication), komunikasi antarras (interracial communication) dan
komunikasi internasional (international
communication).
Komunikasi
antar budaya
sebenarnya lebih inklusif daripada komunikasi antaretnik atau komunikasi
antarras, karena bidang yang dipelajarinya tidak sekedar komunikasi antara dua
kelompok etnik atau dua kelompok ras. Komunikasi antarbudaya lebih informal, personal,
dan tidak selalu bersifat antarbangsa/antarnegara, komunikasi internasional
cenderung mempelajari komunikasi antarbangsa lewat saluran-saluran formal dan
media massa.
Para
ilmuwan social mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan
timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya menjadi bagian dari
perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan,
memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Benar kata Edward T. Hall
(1959) bahwa “culture is communication”
dan “communication is culture”.
Budaya-budaya
yang berbeda memiliki system-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut
menentukan tujuan hidup yang berbeda. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung
pada budaya kita: bahasa, aturan, dan norma kita masing-masing. [4]
Perilaku
manusia memang tidak bersifat acak. Semakin kita mengenal budaya orang lain,
semakin terampillah kita memperkirakan ekspektasi orang itu dan memenuhi
ekspektasinya tersebut. Ekspektasi ini dan cara kita memenuhinya didasarkan
pada apa yang telah terjadi sebelumnya. Setelah terjadi banyak pengulangan,
kita biasanya dapat memastikan apa yang bakal terjadi, sehingga kita merasa
tidaklah mungkin untuk melanggar aturan atau norma itu.
Perbedaan-perbedaan
ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal. Perbedaan ekspektasi
dalam komunikasi sekurang-kurangnya menyebabkan komunikasi tidak lancer, timbul
perasaan tidak nyaman atau kesalahpahaman, seperti dilukiskan contoh berikut:
Seorang
pria Indonesia merasa malu, benci, jijik dan ingin marah ketika pipinya dicium
oleh seorang pria Arab ketika ia baru tiba di Jeddah untuk menunaikan ibadah
haji. Bagi orang Arab, perilaku itu setulusnya menandakan persahabatan, namun
bagi orang Indonesia mengisyaratkan perilaku homoseksual.
Dewasa
ini kesalahpahaman- kesalahpahaman seperti itu masih sering terjadi ketika kita
bergaul dengan kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah
kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa
mempersoalkannya lagi (taken-for-granted),
dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya
lain.
Ketika
kita berkomunikasi dengan orang-orang lain, kita dihadapkan dengan
bahasa-bahasa, aturan-aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita
untuk memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik. Menurut Sumner
etnosentrisme adalah “memandang segala sesuatu dalam kelompok sendiri sebagai
pusat segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan
rujukan kelompoknya”. Pandangan-pandangan etnosentrik itu antara lain berbentuk
stereotip, yaitu suatu generalisasi atas sekelompok orang, objek, atau
peristiwa yang secara luas dianut suatu budaya. Ini tidak berarti bahwa semua
stereotip salah. Ada setitik kebenaran dalam stereotip dalam arti bahwa
sebagian stereotip cukup akurat sebagai informasi terbatas untuk menilai
sekelompok orang yang hampir tidak kita kenal.
Kesalahpahaman-
kesalahpahaman antarbudaya diatas dapat dikurangi bila kita sedikitnya
mengetahui bahasa dan perilaku budaya orang lain, mengetahui prinsip-prinsip
komunikasi antarbudaya dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan
orang-orang lain.
Kebutuhan
untuk mempelajari komunikasi antarbudaya semakin terasa karena semakin banyak
orang asing yang datang ke negara kita. Untuk bangsa Indonesia, pengajaran
komunikasi antarbudaya lebih penting lagi mengingat bangsa kita terdiri dari
berbagai suku bangsa dan ras.
Komunikasi
antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian,
kita segera dihadapakan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi
dimana suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan haus disandi balik dalam
budaya lain.
Persepsi
adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi, dan
mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain,
persepsi adalah cara kita mengubah energo-energi fisik lingkungan kita menjadi
pengalaman yang bermakna.
Tiga
unsure sosio-budaya mempunyai pengaruh yang besar dan langsung atas makna-makna
yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsure-unsur tersebut adalah kepercayaan
(belief), nilai (value), sikap (attitude),
pandangan dunia (world view), dan
organisasi social (social organization).
Ketika ketiga unsure utama ini mempengaruhi persepsi kita dan makna yang kita
bangun dalam persepsi, unsure-unsur tersebut mepengaruhi aspek-aspek makna yang
bersifat pribadi dan subjektif.
Sebutan
Komunikasi Lintas Budaya sering digunakan untuk menyebut makna Komunikasi Antar
Budaya tanpa dibatasi konteks geografis, ras, dan etnik. Karenanya, KLB
didefiniskan sebagai analisis perbandingan yang memprioritaskan relativitas
kegiatan kebudayaan. KLB umumnya lebih terfokus pada hubungan antar bangsa
tanpa harus membentuk kultur baru sebagaimana yang terjadi dalam KAB.
B.
Kompetensi Komunikasi Lintas Budaya
Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan tugas dan
peran, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan,
sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi dan kemampuan untuk membangun pengetahuan
dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang
dilakukan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan kompetensi komunikasi lintas
budaya adalah kompetensi yang dimiliki seseorang (baik secara pribadi,
berkelompok organisasi atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan kapasitas,
keterampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari
orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Kompetensi lintas budaya dengan
kebutuhan utama dari orang-orang lain yang berbeda kebudayaannya. Kopetensi
lintas budaya juga merupakan suatu perilaku yang termasuk sikap, struktur juga
kebijakan yang datang bersamaan atau menghasilkan kerja sama dalam situasi
lintas budaya. Setiap kompetensi lintas budaya dari seorang individu tergantung
pada situasi sosial, organisasi kelompok kerja, dan tempat individu berada
(secara fisik maupun sosial). Semua faktor diatas membentuk sebuah sistem yang
mempengaruhi kompetensi lintas budaya individu yang efektif. Dapat dikatan
bahwa kompetensi komunikasi lintas budaya merupakan tanggung jawab atas total
sistem sebuah kebudayaan. Kompetensi lintas budaya juga berkaitan dengan suatu
keadaan dan kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif
dalam situasi perbedaan budaya.
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa
kompetensi lintas budaya adalah kompetensi yang dimiliki oleh manusia baik
secara pribadi, berkelompok, organisasi atau dalam etnik dan ras tertentu,
dalam meningkatkan keterampilan, pengetahuan yang menyangkut kebutuhan utama dari
orang-orang berbeda budaya. Jadi Kompetensi komunikasi lintas budaya adalah
seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi antar manusia berbeda budaya.
C.
Kegunaan Komunikasi Lintas Budaya
D.
Tujuan Komunikasi Lintas Budaya
Salah satu hal yang paling
ditekankan adalah tujuan dari komunikaksi lints budaya adalah mengurangi
tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Mungkin saja pertemuan antar dua
orang menimbulkan permasalahamengenai relasi dan muncullah beberapa pertanyaan,
seperti : bgaimana perasaan dia terhadap saya, bagaimaa sikap dia terhadapsaya,
apa yang akan saya roleh jikasaya berkomunikasidengan dia, dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Kebingungan yang dituangan dalapertanyaan tadiakan
membuat orang merasa harus berkomunikasi, sehinggapermasalahan relasi
terjawabdan kitamerasa diriberada dalam suasana relasi ang juga lebih pasti.
Selanjutnya setelah berkomunikasi, seseorang akan mengambil sebuah keputusan
untuk mneruskan atau menghentikankomunikasitersebut. Dalam teori informasi,
yang juga kajian komunikasi, tingkat ketidaktentuan atau ketidakpastian itu
akan berkurang ketika orang mampu melakukan proses komunikasi secara tepat.
Biasanya
semakin besar derajat perbedaan lintas budaya, maka akan semakin besar pula
kemungkinan kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian
sebuahkomunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika berkomunikasi
dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka dipastikan akan memiliki
perbedaan pula dalam sejumlah hal.
Gudykunstt
dan kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu
berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas
relasi antar pribadi. Usaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat dilakukan
melalui tiga tahap interaksi, yaitu :
1. Pra-kontak
atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal. Dalam
artian sebuah pertanyaan apakah komunikasi suka berkomunikasi atau sebaliknya
menghindari komunikasi.
2. Initial
contact and impression, yakini sebuah tanggapan lanjutan atas kesan yang
ditimbulkan atau muncul dari kontak pertama tersebut, seperti bertanya pada
diri sendiri:apa saya sepeprti dia, apa dia mengeti saya, apa merugikan waktu
saya jika berkomunikasi dengan dia, atau pertanyaan lainnya yang serupa.
3. Closure,
mulai membuka diri yang semula tertutup, melalui atribusidan pengembangan
kepribadian. Teori atribusi sendiri menganjurkan agar kita lebih mengerti dan
memahami perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku
atau tindakan dari dia (lawan bicara) pertanyaan yang relevan adalah apa yang
mendorong dia berkata, berpikir, atau bertindak demikian. Jika seseorang
menampilkan tindakan yang positif maka kita akan memberikan atribusi motivasiyang
positif kepada orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita.
Sebaliknya, jika seseorang menampilkan tindakan yang negatif, maka kita akan
memberikan at4ribusi motivasi yang negatif pula. Sementara itu kita juga dapat
mengembangkan buah kesan terhadap orang itu melalui evaluasi atas kehadiran
sebuah keprribadian implisit.
Karena disaat awal komunikasi atau pada bagian
pra-konta, telah memberikan kesan bahwa orang itu baik, maka semua sifat
positifnya akan mengikuti dia, misalnya karena dia baik maka beranggapan bahwa
dia pun jujur, ramah, setia kawan, penolong, tidak sombong, dan lainnya.
Selain itu ada pula beberapa alasan mempelajari
komunikasi lintas budaya, yaitu :
1. Membuka
diri dan memperluas pergaulan,
2. Meningkatkan
kesadara diri,
3. Etika/stis,
4. Mendorong
perdamaian dan meredam konflik,
5. Demografis,
6. Ekonomi,
7. Menghadapi
teknologi komunikasi,
8. Menghadapi
era globalisasi.[5]
E.
Ruang Lingkup Komunikasi Lintas Budaya
Pada dasarnya, ruang lingkup komunikasi antar budaya
tidak jauh berbeda dengan komunikasi secara umum. Namun, yang menjadi
penekanannya yaitu pada perbedaan budaya diantara para peserta komunikasinya.
Berdasarkan analisis sederhana, merumuskan ruang lingkup komunikasi antar
budaya dapat ditelusuri dengan cara mengintegrasikan berbagai konseptualisasi
tentang dimensi kebudayaan dalam konteks komunikasi antar budaya. Adapaun
dimensi yang perlu diperhatikan adalah :
1.
Tingkat masyarakat kelompok
budaya dari para pelaku komunikasi
2.
Konteks sosial
tempat terjadinya komunikasi antar budaya
3.
Saluran komunikasi
yang dilalui oleh pesan-pesan komunikasi antar budaya, baik yang bersifat
verbal maupun non verbal
[1] Alo Liliweri. Makna Budaya
Dalam Komunikasi Antar Budaya. 2003. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.
Hlm. 18-19
[2] Bernard T. Adeney. Etika
Sosial Lintas Budaya. 2000. Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 156
[3] Turner. Pengantar Teori
Komunikasi 1. 2008. Jakarta: Salemba Humanika. Hlm 42-43
[4] Deddy Mulyana & Jalaludin Rakhmat. Komunikasi Antar Budaya. 2005. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Offset. Hlm. V-VI
[5] Dr. Alo Liliweri,
M,S. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. 2002. PT. LKiS Pelangi Aksara.
Hal 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar